Senin, 07 Juni 2010
Pengajian Sholawat Lahirkan Muallaf
Pembacaan Acara seperti ini memang rutin dilakukan sebulan sekali. Seperti biasa, antusiasme warga terhadap acara ini terbilang besar, bahkan tidak hanya masyarakat setempat yang datang, tampak juga masyarakat dari luar daerah seperti Magelang, Solo dan kelaten. Terlebih, acara ini semakin membuka mata masyarakat bahwa keberadaan acara ini termasuk suatu bentuk dakwah tersendiri dalam syiar Islam.
Awalnya masyarakat sempat mengira pemuda berwajah bule tersebut Bri Prima, artis kawakan yang pernah menghiasi layar kaca di era 90an. “saya kira pemuda berwajah bule yang yeng sejak tadi duduk di belakang Khabib Syekh Bri Prima, ternyata bukan”, kira Syamsul salah seorang hadirin asal Kelaten.
Dengan adanya kejadian tersebut, panitia sangat berkesan. Terlebih acara ini bertujuan agar masyarakat tidak selalu menyibukan waktunya untuk mencari dunia, adakalanya menyempatkan diri ertafakkur kepada Allah, yakni melalui puji-pujian terhadap Rosululloh. Huda, selaku panitia berharap kami akan terus melanjutkan acara ini sebagai jalan dakwah, begitu kami mendengar di tengah acara akan ada muallaf yang mengikrarkan diri sebagai pemeluk Islam dengan disaksikan masyarakat.
Habib Syekh juga mendorong dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk selalu meramaikan acara seperti ini. Acara ini akan berlanjut di Yogyakarta hingga tangal 25 Maret di Ponpes Krapyak, tanggal 24 akan berlangsung di Parangtritis. Habib syekh menuturkan dengan adanya acara seperti terus menerus, semakin lama hasilnya akan tampak, kita bisa melahirkan muallaf
Jumat, 26 Maret 2010
Memang Terjadi
Kamis, 18 Maret 2010
Globalisasi, Jangan Kau Hilangkan Kesenianku !!!!!!!
Kebudayan asing layaknya air, yang terus mencari celah untuk dilalui, menerobos celah yang lebar hingga tersempit, sifat masyarakat kita yang sangat terbuka ibarat celah yang dalam menyikapi budaya asing yang mulai merambat ranah nusantara, Budaya kita saat ini masih terasa memprihatinkan, hal ini disebabkan masyarakat yang belum sepenuhnya mempunyai rasa saling memiliki dalam menjaga kebudayaan dan kesenian didaerahnya masing-masing. bahkan sekarang ini kian jarang generasi muda yang peduli terhadap kesenian didaerahnya. Hanya beberapa kecil yang antusias dan mempelajarinya, itupun kebanyakan mengalir dari darah orang tuanya yang menekuni kesenian setempat.
Ada pepatah Minang mengatakan. Alah limau dek mindalu, hilang pusako dek pancarian, maksudnya kebudayaan lama akan hilang seiring munculnya kebudayaan lain (www.pandaisikek.com, 2 Oktober 2009, Pepetah petiti Minang). Tidak jauh beda dengan gambaran masyarakat di Indonesia, saat ini kita merasa asing dengan kebudayanya sendiri. entah karena sing atau mengasingklan diri. seolah kita amat asing dengan budaya kita. Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengulas profil seniman kentrung asal kota saya sendiri. Demak, namanya Samsuri, sebagai seorang seniman, dia tengah prihatin terhadap tradisi lisan kentrung yang mulai hilang di kebudayaan masyarakat Pesisir pantai, kentrung menjadi suguhan yang langka, padahal dengan kentrung kita bisa mengajarkan nilai - nilai budi pekerti dan semangat kebenaran lewat kisah-kisah dalam seni tutur kentrung ujar Samsuri, yang juga juga sempat diajak dinas pariwisata berpentas di Taman Mini Indonesiaa Indah (www.kompas.com, 12 Oktober 2009, Samsuri, Seniman Kentrung Demak).
Kesenian budaya adalah sesuatu yang melekat pada diri bangsa kita karena seni budaya merupakan identitas sebuah bangsa, seperti yang di tuturkan seniman teater Harun Das Putra, menekankan masuknya pengaruh kebudayaan asing harus diimbangi dengan memunculkan seni budaya bangsa sendiri tidak sebagai alternatif, namun menjadi sebuah kebutuhan. Sebab seni dan budaya adalah identitas bangsa. Daya saing seni budaya daerah harus diciptakan jika tidak ingin tergilas oleh media yang ada saat ini (www.kompas.com, 13 Oktober 2009, klasik itu indah).
Masyarakat kita sekarang merasa asing dengan dengan sesuatu yang dimilikinya yakni kesenian yang dimiliki, masyarakat cenderung terhadap sesuatu yang telah terbumbui dengan aroma kebarat-baratan, dari karya, hiburan, bahkan kebiasaan kehidupan malam dan ada pula yang mulai mengikuti gaya borjuis ala selebritis yang sering ditampilkan di televisi, kalau sudah demikian lalu buat apa kesenian daerah? Mau dikemanakan budaya kita? Apakah hanya sebagai simbolis bahwa negara kita kaya kesenian?
Kadang saya tidak habis pikir kenapa dinegara Jepang ada pagelaran pentas seni budaya seluruh Asia? Namun saat giliran seni budaya gamelan justru orang Jepang sendiri yang membawakannya bukan orang Indonesia, hal itu menunjukan betapa besar rasa antusias orang Jepang terhadap seni budaya kita. Menurut saya merawatnyapun merupakan suatu bentuk nasionalis terhadap tanah air. Bangsa kita terdiri dari beragam etnis, kita harus bisa menyikapinya agar perbedaan yang terdapat di bumi pertiwi kita ini bukannya menjadi bomerang, justru menjadi kelebihan yang sangat positif, dan bersinergi untuk menjaga kebudayaan yang telah lahir, karena merawat lebih sulit daripada membuat. kita lahir di Indonesia, kita juga harus menjaga peninggalan nenek moyang kita yang telah dipercayakan pada kita.
Bangsa kita saat ini masih belum melek oleh Neo kolonialisme dinegara kita, kita belum sadar bahwa kebudayaan-kebudayaan lokal terjajah oleh masuknya kebudayaan asing yang kian menggerogoti dengan cara yang sangat halus tanpa kita sadari. Kita sebagai anak bangsa harus bangkit dari tidur panjang kita dan bersama mengembalikan kembali seni budaya yang sejak dahulu ada, sejak zaman perjuangan walisongo dalam menyebarkan ajaran islam, zaman Patih Gadjah Mada saat menyatukan Nusantara, jangan sampai suatu masa mudah punah hanya karena termakan oleh zaman.
Kita seharusnya peduli terhadap kesenian budaya yang telah diajarkan nenek moyang kita. Menurut kacamata saya, menjaga keutuhan suatu seni budaya warisan nenek moyang kita merupakan sebuah bentuk nasionalis tersendiri, bukan sebatas ungkapan cinta tanah air dari bibir, sesuatu yang lahir dari relungan dan mengendap di hati lalu kita uraikan, kemudian kita ungkapkan tentunya juga kita lakukan. Begitu juga kebudayaan, Kebudayaan lahir dari rahim keragaman bangsa dan Negara, kebudayaan adalah citra dan cipta rakyat Indonesia yang senantiasa kita jaga.
Minggu, 14 Maret 2010
masak berpolitik di Tengah Bencana?
Sudah bukan rahasia umun negara kita adalah negara yang rentan akan bencana. Dari keberadaan letak geografis negara kita yang terletak dipertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh tiga gerakan, yaitu Gerakan sistem Sunda, Gerakan sistem Pinggiran Asia dan Gerakan Sirkum Australia. Hal itu menunjukan bahwa begitu rentannya negara kita terhadap bencana. Entah bencana yang memang disebabkam ekosistem alam ataupun bencana akibat perbuatan tangan-tangan tak bertanggung jawab, adapula karena kesalahan sistem industri. Di antara bencana yang sering melanda negri ini baru-baru ini maupun yang seringkali terjadi, yakni: bencana banjir, lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Tsunami di Aceh, gempa di Bantul – Yogyakarta, jebolnya tanggul di Situ Gintung, dan yang masih baru-baru ini gempa di Sumatra Barat. Namun disamping adanya bencana dan jatuhnya korban, ada saja ulah pemerintah untu memanfaatkan situasi demi kepentingan politik. Dari kesekian kali bencana yang terjadi. Terdapat beberapa upaya politisasi ditengah-tengah bencana, seperti lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang dimiliki pegusaha sekaligus tokoh politik ternama, Aburizal Bakrie, yang kini telah beralih menjadi ketua umum Partai Golkar, mengalahkan pesaing utamanya yakni pemilik media televisi Metro TV Surya Paloh dalam perolehan suara. Dalam hal ini, diadakannya peringatan 1 tahun setelah terjadinya bencana Lumpur Lapindo yang dihadiri beberapa tokoh-tokoh politik, dalam acara tersebut membincangkan penuntasan masalah korban Lapindo Brantas. Harapannya pemerintah daerah dan pemilik segera menyelesaikan masalah yang melanda pemerintah negara menyangkut soal kasus Lapindo. Perihal acara tersebut diadakan supaya menjelang pemilihan nanti diharapkan masyarakat sudah merasakan aman dan tidak mempengaruhi sistem demokratis di Indonesia. Karena seringkali hal tersebut juga terdapat potensi yang mempengaruhi sistem demokrasi, akibatnya sistem demokrasi menjadi tidak berjalan lancar dan dikhawatirkan terjadi sesuatu yang jauh dari perkiraan semula. Hal ini akan mempersulit kinerja pemerintah daerah, bahkan akan berdampak pada kinerja pemerintah pusat.
Banyak strategi politik yang bisa digunakan. Misalnya mencari simpatik dari masyarakat, dengan dalih menyelamatkan aset daerah tersebut, seperti yang dilakukan Aburizal Bakrie, pada sektor olahraga. Sidoarjo mempunyai klub sepakbola bernama Deltras, yang kian menggantung nasibnya dan berada diujung tanduk. Aburizal Bakrie menseponsori klub Deltras dengan sponsor utama yang tertera pada kostum Deltras bagian depan yang bertuliskan Bakrie. Hal ini membuat masyarakat Sidoarjo yang menggandrungi sepakbola merasa tertolong oleh adanya sponsor Bakrie dan akan melupakan problem yang terjadi pada masyarakat korban Lumpur Lapindo Brantas. Yang mereka ketahui bahwa Aburizal Bakrie telah menyelamatkan klub sepakbola idolanya dari lemahnya aspek finansial dalam tubuh manajemen Deltras. Namun, di balik itu semua, hal itu tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami korban Lapindo Brantas. Begitulah upaya politis untuk mengalihkan suatu masalah. Adapula upaya kampanye ditengah bencana. Seperti beberapa pihak politik yang berkunjung kelokasi bencana hendak memberikan bantuan dengan membawa bendera atau semacam simbol yang identik dengan suatu parpol, sungguh tidak etis. Bayangkan, di tengah bancana, masih sempatnya para pihak politik berkampanye, dengan dalih bahwa keberadaanya hanyalah dalam rangka memberikan bantuan sosial dari suatu lembaga sosial masyarakat (LSM).
Bencana jebolnya tanggul di Situ Gintung masih terbayang dimemori masyarakat korban Situ Gintung, Situ Gintung yang semula sebuah tempat piknik masyarakat setempat, hanya dalam waktu beberapa saat berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Bencana tersebut menimbulkan banyak korban berserakan, rumah warga hancur, mobil-mobil dan motor warga setempat juga nampak terseret air. Sehingga banyaknya bantuan dan relawan yang tersentuh seketika berdatangan turun hendak memberikan bantuan, sebagian berupa makanan, minuman dan tenda biru untuk tempat tidur para korban. Beberapa media dinegara kita mencoba memfasilitasi bantuan dari masyarakat yang tak sempat langsung datang, yakni masing-masing media menyediakan rekening untuk para relawan. Tak terkecuali partai pilitik, merekapun tak mau ketinggalan ikut mendirikan posko-posko bantuan dan mengirimkan bantuan kepada korban bencana Situ Gintung. Kebetulan bencana tersebut bertepatan menjelang pemilihan presiden yang akan di selenggarakan pada tanggal 9 Juli. Merebaknya posko-posko parpol kian menjadi sorotan bagi media. Pasalnya terdapat simbol atau lambang yang berhubungan atau identik dengan suatu parpol yang terdapat pada posko-posko yang berdiri, seolah-olah mereka hendak memanfaatkan bencana sebagai suatu sarana kampanye, hal ini terkesan memanfaatkan kesedihan korban. Selain itu juga dikhawatirkan adanya pihak yang mengeksploitasi korban bencana setempat. Maraknya posko bantuan di Situ Gintung yang terdapat foto kandidat yang terpampang dengan wajah tersenyum, lambang-lambang parpol peserta pemilu merupakan adanya indikasi pesan politik dan upaya kampanye secara tidak langsung, hal itu sangat berpengaruh terhadap khalayak. Demikianlah fungsi komunikasi politik. Seperti riset yang telah dilakukan Rosenberg dan McCafferty di AS menunjukkan bahwa citra (image) dari foto para kandidat akan sangat berpengaruh terhadap khalayak. Foto yang terpasang dengan senyum akan banyak dipilih (McNair,1999:35).
Disamping itu maraknya posko parpol menunjukan mereka lebih mementingkan kampanye kelompoknya daripada fungsi tanggap bencana, tidak layaknya posko-posko yang memang bertujuan membantu korban bencana yang tidak mempunyai kepentingan politik. Telah tergambar dengan gamblang oleh mata kita melalui ekspos media. Mereka saling memanaskan persaingan antar kelompok, menjadikan posko bantuan sebagai kepentingan politik, yakni sebagai sarana untuk membangun identitas sekaligus citra parpol (komunikasi timbal balik antara parpol dan masyarakat). Adanya proses komunikasi politik yang didomonasi oleh isi yang merangsang sikap dan emosional – persuasif – konfrontatif (Alfian, 1991:33), Ada apa dengan politik di Indonesia? Serendah itukah?. Mari kita bandingkan bencana Situ Gintung dengan bencana gempa di Sumbar. Yakni saat bencana Situ Gintung begitu maraknya posko-posko parpol yang berdiri untuk membantu korban hingga bludagnya posko parpol, hal tersebut karena upaya kampanye menjelang Plipres. Berbada saat gempa di Sumbar, tak satupun posko parpol yang berdiri seperti halnya saat bencana Situ Gintung. Itulah gambaran bobrok sistem politik dinegara kita. Begitulah cerita politik di Negri ini. Seperti lirik Iwan Fals, dunia politik penuh dengan intrik, cubit sana cubit sini, kalau nggak sakit gak asik