Minggu, 14 Maret 2010

masak berpolitik di Tengah Bencana?

Sudah bukan rahasia umun negara kita adalah negara yang rentan akan bencana. Dari keberadaan letak geografis negara kita yang terletak dipertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh tiga gerakan, yaitu Gerakan sistem Sunda, Gerakan sistem Pinggiran Asia dan Gerakan Sirkum Australia. Hal itu menunjukan bahwa begitu rentannya negara kita terhadap bencana. Entah bencana yang memang disebabkam ekosistem alam ataupun bencana akibat perbuatan tangan-tangan tak bertanggung jawab, adapula karena kesalahan sistem industri. Di antara bencana yang sering melanda negri ini baru-baru ini maupun yang seringkali terjadi, yakni: bencana banjir, lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Tsunami di Aceh, gempa di Bantul – Yogyakarta, jebolnya tanggul di Situ Gintung, dan yang masih baru-baru ini gempa di Sumatra Barat. Namun disamping adanya bencana dan jatuhnya korban, ada saja ulah pemerintah untu memanfaatkan situasi demi kepentingan politik. Dari kesekian kali bencana yang terjadi. Terdapat beberapa upaya politisasi ditengah-tengah bencana, seperti lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang dimiliki pegusaha sekaligus tokoh politik ternama, Aburizal Bakrie, yang kini telah beralih menjadi ketua umum Partai Golkar, mengalahkan pesaing utamanya yakni pemilik media televisi Metro TV Surya Paloh dalam perolehan suara. Dalam hal ini, diadakannya peringatan 1 tahun setelah terjadinya bencana Lumpur Lapindo yang dihadiri beberapa tokoh-tokoh politik, dalam acara tersebut membincangkan penuntasan masalah korban Lapindo Brantas. Harapannya pemerintah daerah dan pemilik segera menyelesaikan masalah yang melanda pemerintah negara menyangkut soal kasus Lapindo. Perihal acara tersebut diadakan supaya menjelang pemilihan nanti diharapkan masyarakat sudah merasakan aman dan tidak mempengaruhi sistem demokratis di Indonesia. Karena seringkali hal tersebut juga terdapat potensi yang mempengaruhi sistem demokrasi, akibatnya sistem demokrasi menjadi tidak berjalan lancar dan dikhawatirkan terjadi sesuatu yang jauh dari perkiraan semula. Hal ini akan mempersulit kinerja pemerintah daerah, bahkan akan berdampak pada kinerja pemerintah pusat.

Banyak strategi politik yang bisa digunakan. Misalnya mencari simpatik dari masyarakat, dengan dalih menyelamatkan aset daerah tersebut, seperti yang dilakukan Aburizal Bakrie, pada sektor olahraga. Sidoarjo mempunyai klub sepakbola bernama Deltras, yang kian menggantung nasibnya dan berada diujung tanduk. Aburizal Bakrie menseponsori klub Deltras dengan sponsor utama yang tertera pada kostum Deltras bagian depan yang bertuliskan Bakrie. Hal ini membuat masyarakat Sidoarjo yang menggandrungi sepakbola merasa tertolong oleh adanya sponsor Bakrie dan akan melupakan problem yang terjadi pada masyarakat korban Lumpur Lapindo Brantas. Yang mereka ketahui bahwa Aburizal Bakrie telah menyelamatkan klub sepakbola idolanya dari lemahnya aspek finansial dalam tubuh manajemen Deltras. Namun, di balik itu semua, hal itu tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami korban Lapindo Brantas. Begitulah upaya politis untuk mengalihkan suatu masalah. Adapula upaya kampanye ditengah bencana. Seperti beberapa pihak politik yang berkunjung kelokasi bencana hendak memberikan bantuan dengan membawa bendera atau semacam simbol yang identik dengan suatu parpol, sungguh tidak etis. Bayangkan, di tengah bancana, masih sempatnya para pihak politik berkampanye, dengan dalih bahwa keberadaanya hanyalah dalam rangka memberikan bantuan sosial dari suatu lembaga sosial masyarakat (LSM).

Bencana jebolnya tanggul di Situ Gintung masih terbayang dimemori masyarakat korban Situ Gintung, Situ Gintung yang semula sebuah tempat piknik masyarakat setempat, hanya dalam waktu beberapa saat berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Bencana tersebut menimbulkan banyak korban berserakan, rumah warga hancur, mobil-mobil dan motor warga setempat juga nampak terseret air. Sehingga banyaknya bantuan dan relawan yang tersentuh seketika berdatangan turun hendak memberikan bantuan, sebagian berupa makanan, minuman dan tenda biru untuk tempat tidur para korban. Beberapa media dinegara kita mencoba memfasilitasi bantuan dari masyarakat yang tak sempat langsung datang, yakni masing-masing media menyediakan rekening untuk para relawan. Tak terkecuali partai pilitik, merekapun tak mau ketinggalan ikut mendirikan posko-posko bantuan dan mengirimkan bantuan kepada korban bencana Situ Gintung. Kebetulan bencana tersebut bertepatan menjelang pemilihan presiden yang akan di selenggarakan pada tanggal 9 Juli. Merebaknya posko-posko parpol kian menjadi sorotan bagi media. Pasalnya terdapat simbol atau lambang yang berhubungan atau identik dengan suatu parpol yang terdapat pada posko-posko yang berdiri, seolah-olah mereka hendak memanfaatkan bencana sebagai suatu sarana kampanye, hal ini terkesan memanfaatkan kesedihan korban. Selain itu juga dikhawatirkan adanya pihak yang mengeksploitasi korban bencana setempat. Maraknya posko bantuan di Situ Gintung yang terdapat foto kandidat yang terpampang dengan wajah tersenyum, lambang-lambang parpol peserta pemilu merupakan adanya indikasi pesan politik dan upaya kampanye secara tidak langsung, hal itu sangat berpengaruh terhadap khalayak. Demikianlah fungsi komunikasi politik. Seperti riset yang telah dilakukan Rosenberg dan McCafferty di AS menunjukkan bahwa citra (image) dari foto para kandidat akan sangat berpengaruh terhadap khalayak. Foto yang terpasang dengan senyum akan banyak dipilih (McNair,1999:35).

Disamping itu maraknya posko parpol menunjukan mereka lebih mementingkan kampanye kelompoknya daripada fungsi tanggap bencana, tidak layaknya posko-posko yang memang bertujuan membantu korban bencana yang tidak mempunyai kepentingan politik. Telah tergambar dengan gamblang oleh mata kita melalui ekspos media. Mereka saling memanaskan persaingan antar kelompok, menjadikan posko bantuan sebagai kepentingan politik, yakni sebagai sarana untuk membangun identitas sekaligus citra parpol (komunikasi timbal balik antara parpol dan masyarakat). Adanya proses komunikasi politik yang didomonasi oleh isi yang merangsang sikap dan emosional – persuasif – konfrontatif (Alfian, 1991:33), Ada apa dengan politik di Indonesia? Serendah itukah?. Mari kita bandingkan bencana Situ Gintung dengan bencana gempa di Sumbar. Yakni saat bencana Situ Gintung begitu maraknya posko-posko parpol yang berdiri untuk membantu korban hingga bludagnya posko parpol, hal tersebut karena upaya kampanye menjelang Plipres. Berbada saat gempa di Sumbar, tak satupun posko parpol yang berdiri seperti halnya saat bencana Situ Gintung. Itulah gambaran bobrok sistem politik dinegara kita. Begitulah cerita politik di Negri ini. Seperti lirik Iwan Fals, dunia politik penuh dengan intrik, cubit sana cubit sini, kalau nggak sakit gak asik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar